TUGAS
6
PENGGELAPAN PAJAK
·
Pengertian Pajak
Pajak
adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan
(wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak. Karena
pajak adalah iuran yang sifatnya dipaksakan, maka negara juga tidak membutuhkan
‘kerelaan wajib pajak’.
·
Pengertian
penggelapan pajak
Penggelapan
pajak (tax evasion) adalah tindak pidana karena merupakan rekayasa subyek
(pelaku) dan obyek (transaksi) pajak untuk memperoleh penghematan pajak secara
melawan hukum (unlawfull), dan penggelapan pajak boleh dikatakan merupakan
virus yang melekat (inherent) pada setiap system pajak yang berlaku di hampir
setiap yurisdiksi.
·
Peraturan
tentang penggelapan pajak
Secara
umum, proses pidana di bidang perpajakan berawal dari pemeriksaan bukti
permulaan (bukper) yang dilakukan oleh Penyidik Pengawai Negeri Sipil (PPNS) di
Ditjen Pajak terhadap orang yang terindikasi melakukan tindak pidana
perpajakan. Pemeriksaan bukper pada dasarnya merupakan pengembangan dan analisis
informasi, data, laporan dan pengaduan (IDLP) yang dimiliki Ditjen Pajak.
Bentuk tindak pidana perpajakan dan hukumannya diantaranya diatur dalam pasal
38, pasal 39 dan pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP). Pemeriksaan bukper akan berlanjut pada tahap penyidikan
dan penuntutan oleh Kejaksaan, lalu disidangkan di pengadilan hingga jatuhnya
vonis.
Karena
pidana perpajakan bersifat lentur maka sesuai dengan UU KUP terdapat beberapa
ketentuan yang mengatur kemungkinan Wajib Pajak yang terindikasi melakukan
pidana perpajakan menyelesaikan perkaranya sebelum tahap penuntutan sehingga
tidak sampai jatuh vonis pidana perpajakan. Tentu tujuan adanya ketentuan ini
agar Wajib Pajak membayar pajak sesuai kewajibannya, sehingga tidak diperlukan
upaya terakhir berupa sanksi pidana perpajakan. Ketentuan yang mengatur pidana
perpajakan namun tidak sampai dihukum dengan sanksi pidana perpajakan
diantaranya diatur dalam pasal 13A, pasal 8 ayat (3) dan pasal 44B UU KUP.
Penerapan
pasal 38, pasal 39 dan pasal 39A UU KUP akan berujung pada putusan pengadilan
berupa hukuman kurungan dan denda pidana dalam jumlah tertentu. Proses pidana
perpajakan sampai dengan putusan pengadilan melibatkan pihak Ditjen Pajak,
Kejaksaan dan Pengadilan. Denda pidana yang dikenakan kepada pelaku juga
terbilang tinggi, misalnya denda pidana pasal 38 UU KUP berupa denda paling
sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan
paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar. Denda tersebut akan masuk sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP).
Penerapan
pasal 13A, pasal 8 ayat (3) dan pasal 44B UU KUP memberikan kemungkinan kepada
pelaku pidana perpajakan untuk melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang
sebenarnya terutang beserta sanksi administrasinya dan tidak sampai divonis
putusan pengadilan. Artinya pelaku terhindar dari hukuman pidana perpajakan
berupa kurungan dan denda. Pelaku cukup melunasi kekurangan pembayaran pajak
beserta sanksi administrasinya sebelum penyidikan atau penuntutan. Proses
penerapan pasal 13A dan pasal 8 ayat (3) UU KUP terjadi di Ditjen Pajak, dan
proses pasal 44B UU KUP selain melibatkan Ditjen Pajak juga melibatkan
Kejaksaan. Proses penuntutan dan pengadilan tidak perlu dilakukan dalam
penerapan pasal-pasal ini
·
Contoh kasus
penggelapan pajak
Masih ingatkah pembaca dengan nama Gayus
Tambunan, seorang petugas pajak yang menerima suap terkait pengurusan
permohonan keberatan pajak. Kasus Gayus sama dengan kasus pajak yang menimpa
Hadi Poernomo, dan BCA. Gayus Tambunan dipidana karena terbukti menerima suap
uang sebesar Rp 925 juta rupiah dari Roberto Santonius terkait kepengurusan
gugatan keberatan pajak PT Metropolitan Retailmart dan menerima 3,5 juta dollar
Amerika dari Alif Kuncoro terkait kepengurusan pajak tiga perusahaan Grup
Bakrie, yakni PT Arutmin, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Bumi Resource. Gayus
Tambunan dinilai telah terbukti menerima suap dan melakukan tindak pencucian
uang dari tiga perusahaan Bakrie Group senilai 7 juta dollar AS, lalu membagi
uang itu ke Alif Kuncoro, Imam Cahyo Maliki, Maruli Pandapotan Manurung, dan
pejabat-pejabat di Ditjen Pajak lain. "Saya terima tiga juta dollar
AS," kata Gayus. Gayus menjelaskan sumber dana yang dia terima ketika
masih bekerja di Direktorat Jenderal Pajak, yakni dari PT Bumi Recources, PT
Arutmin, dan PT Kaltim Prima Coal. Dengan suap tersebut Bakrie Group
menginginkan Gayus Tambunan melakukan tiga pekerjaan, PT Bumi Resources
mengajukan banding tahun 2005, Gayus diminta untuk membuatkan surat banding,
surat bantahan-bantahan, dan termasuk persiapan apa saja yang dibutuhkan dengan
imbalan sebesar 3 juta dollar AS yang kemudian ia bagikan kepada Alif Kuncoro,
Imam Cahyo Maliki, Maruli Pandapotan Manurung. Serupa dengan kasus Gayus
Tambunan dengan sejumlah perusahaan terkait pengurusan permohonan keberatan
pajak, kasus yang sama juga terulang di tubuh Bank BCA dengan Hadi
Poernomo-nya, namun bedanya apabila kasus Gayus sudah tuntas, kasus penggelapan
pajak yang menyeret PT. Bank BCA Tbk dalam daftar hitam penyelidikan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) masih saja belum mencapai kata final sejak
dibukanya penyelidikan pada tahun 2003 silam. Peran Hadi Poernomo dalam kasus
pajak BCA diduga menyalahgunakan wewenangnya sebagai Dirjen Pajak dengan dengan
membuat Surat Keputusan (SK) yang melanggar prosedur terkait permohonan
keberatan wajib pajak yang disampaikan oleh pihak Bank BCA. Hadi Poernomo
selaku dirjen pajak diduga memanipulasi telaah direktorat PPH mengenai
keberatan SKPN PPH BCA. BCA mengajukan surat keberatan wajib pajak dengan nilai
yang cukup fantastis yakni sebesar Rp 5,7 triliun terkait kredit bermasalah-nya
atau non performance loan (NLP) kepada direktorat PPH Ditjen Pajak pada
17 Juli 2003. Setelah ditelaah oleh Direktorat PPH, permohonan keberatan wajib
pajak yang diajukan BCA ditolak, namun oleh Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak
mengintruksikan Direktur PPH yang semula menolak menjadi menerima seluruh
permohonan keberatan wajib pajak yang dilayangkan pihak BCA sehari sebelum masa
jatuh tempo pemberian keputusan final. Oleh putusan Hadi Poernomo tersebut,
diyakini BCA telah merugikan negara dengan tidak membayar pajak sebesar Rp 375
miliar. Selain itu, keputusan Hadi Poernomo mengabulkan permohonan keberatan
pajak yang diajukan BCA juga semakin terasa janggal apabila mengingat hal
serupa juga dilayangkan Bank Danamon perihal keberatan pajak atas nilai
transaksi sebesar Rp 17 triliun tetapi ditolak oleh pengadilan pajak. Anehnya,
hal ini serupa namun hasilnya berbeda. Dalam kasus ini KPK menetapkan Hadi
Poernomo sebagai tersangka dengan dikenakan ancaman hukuman maksimal 20 tahun
dan denda paling banyak Rp 1 miliar berdasarkan pelanggaran terhadap pasal 2
ayat 1 dan atau pasal 3 UU no 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20
tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 55 ayat 1 ke-1
KUHP. Dimana pasal tersebut mengatur mengenai setiap orang yang melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara maupun setiap orang yang menyalahgunakan
kewenangan.
Penyelesainnya:
Dihukum
pidana sesuai dengan ketentuan undang undang agar pelaku jera.
Sumber
:
http://ekstensifikasi423.blogspot.co.id/2014/12/tindak-pidana-perpajakan.html (Sabtu, 23
April 2016 )
http://www.pajak.go.id/content/article/pidana-pajak-dan-pemiskinan-pelaku-korupsi (Sabtu, 23 April 2016 )
https://id-id.facebook.com/notes/dukung-susno-duaji-untuk-kebenaran/penggelapan-pajak-kejahatan-asal-praktik-pencucian-uang/134453536578135/ (Sabtu, 23
April 2016 )